PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Poligami pada masa sekarang ini
merupakan sebuah fenomena sosial dalam masyarakat, dimana fenomena poligami
pada saat ini menemui puncak kontroversinya, begitu banyak tanggapan-tanggapan
dari khalayak mengenai poligami, baik yang pro ataupun kontra. Masalah poligami
bukanlah masalah baru lagi, begitu banyak pertentangan didalamnya yang sebagian
besar dinilai karena perbedaan pandangan masyarakat dalam memberikan sudut
pandang pada berbagai hal yang terkait masalah poligami baik ketentuan,
batasan, syarat, masalah hak, kewajiban dan kebebasan serta hal-hal lainnya.
Dalam
islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih juga
berupa perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini
terbukti dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber
hukum dalam perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat
serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan, keadilan dan faktor lainnya yang
harus dipenuhi dalam berpoligami. Di Indonesia sendiri juga terdapat kebijakan
hukum yang mengatur masalah poligami diantaranya terdapat dalam Undang-undang
Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
b. Rumusan Masalah
- Apa pengertian poligami?
- Bagaimana sejarah poligami?
- Bagaimana keterkaitan poligami dan masalah kebebasan wanita?
- Bagaimana pandangan islam tentang poligami?
- Apa saja syarat-syarat poligami?
- Bagaimana kebijakan hukum di Indonesia yang mengatur masalah poligami?
- Bagaimana prosedur dalam berpoligami?
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN POLIGAMI
Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang bebarti
perkawinan. Bila pengertian ini digabungkan maka akan berarti suatu perkawinan
yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki
mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang
perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada
dasarnya disebut poligami.
Pengertian poligami menurut bahasa indonesia adalah
sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenis di waktu yang bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi seorang
laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang
berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti
perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami
disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti
laki-laki.
Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang
mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini
bukan poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang
dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih
dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu
menurut masyarakat umum adalah poligami.[1]
2. SEJARAH POLIGAMI
Poligami
sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang
sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda,
Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami.
Demikian juga bangsa-bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga
berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa islamlah yang
melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku
sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut
islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar kalau poligami hanya
terdapat di negeri-negeri Islam.
Agama
Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada satu ayat pun
dalam injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di
eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan bangsa
Eropa yang kebanyakan Kristen pada
mulanya seperti orang Yunani dan romawi sudah lebih dulu melarang poligami,
kemudian setelah mereka memeluk kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan nenek
moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian peraturan tentang monogami
atau kawin hanya dengan seorang istri bukanlah peraturan dari agama Kristen
yang masuk ke negara mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah
berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan
poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal
lembaran-lembaran dari kitab injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan
poligami.[2]
3. POLIGAMI DAN MASALAH KEBEBASAN WANITA
1) Pendapat
dari golongan anti poligami
Pada masa sekarang ini, mungkin pendapat yang pertama
sekali menarik perhatian kita ialah pendapat dari golongan anti poligami, yang
mengatakan bahwa melarang poligami adalah salah satu keharusan untuk menerapkan
kebebasan wanita. Mereka meninjau poligami itu sebagai sistem masyarakat
primitif, yang kemudian meningkat dan menurun sejalan dengan meningkat dan
menurunnya keadaan wanita. Membebaskan wanita dari sistem poligami itu adalah
suatu langkah untuk memajukan wanita itu, karena poligami itu sudah tidak
sesuai lagi dengan zaman modern, dimana wanita sudah memperoleh hak-haknya
dengan sempurna, tanpa adanya sesuatu kekeruangan. Sedang poligami itu adalah
suatu sistem perkawinan yang menitik beratkan kesejahteraan laki-laki dengan
mengorbankan kedudukan dan kemuliaan wanita.
Memperbolehkan poligami adalah suatu tindakan yang
bearti meletakkan suatu hambatan di hadapan wanita, di tengah-tengah
perjalanannya menuju kemajuan masyarakat. Sebaliknya, melarang poligami berarti
menghilangkan sebagian dari rintangan-rintangan yang memperlambat pergerakan
wanita dan merampas hak-haknya serta merendahkan kedudukannya.[3]
2) Pendapat
dari golongan pendukung poligami
Pendukung poligami tidak melihat adanya hubungan
antara poligami itu dengan primitif atau modernya masyarakat. Karena kehidupan
seorang laki-laki bersama-sama dengan beberapa orang wanita itu adalah
kenyataan yang ada di kalangan masyarakat, dalam semua negara dan sepanjang
masa, baik dengan nama poligami ataupun dengan nama yang berarti sama
dengannya. Dan adalah suatu kesalahan kalau poligami dihubungkan dengan
masyarakat primitif, disaat-saat banyaknya teman-teman wanita dari seorang
laki-laki merupakan suatu kenyataan yang ada di dalam masyarakat yang modern.
Poligami adalah salah satu usaha untuk membimbing wanita, untuk meningkatkan
dari suasana kehidupan yang diliputi oleh kegelisahan, kehinaan dan terlantar,
menuju kehidupan berkeluarga yang mulia dan keibuan yang mulia, dimana wanita
merasakan kebahagiaan, kesucian dan kemuliaan dibawah naungannya. Poligami juga
merupakan salah satu penerapan dari kebebasan wanita dan terlaksananya apa yang
dikehendakinya, karena sebenarnya laki-laki itu tidak berpoligami tanpa kemauan
wanita.
Walaupun poligami itu megharuskan adanya tambahan
bagi istri yang pertama, namun peraturan poligami tidak menyebabkan adanya halangan
bagi istri yang pertama atau yang baru untuk menjadi ratu rumahtangganya, dan
bebas bertindak dalam segala urusannya. Karena peraturan agama dan
undang-undang serta tradisi di negara-negara islam menetapkan bahwa setiap
wanita yang sudah berkeluarga akan memiliki rumah yang tersendiri dan tidak
menyebabkan salah seorang dari istri-istri itu boleh berkuasa terhadap yang
lain.
Dari segi ini para pendukung poligami itu
berpendapat bahwa poligami adalah suatu sistem kehidupan masyarakat yang
andaikata merupakan tekanan terhadap wanita demi kepentingan laki-laki, maka
mestinya lebih pantas untuk tiap-tiap wanita, bahwa ia tidak mau menikah dengan
seorang laki-laki yang sudah pernah menikah dan kalau hal itu dipraktekkan maka
tidak mungkin lagi laki-laki berpoligami. Disamping itu, kalau kita misalkan bahwa poligami itu menyebabkna
timbulnya semacam perasaan sakit pada istri yang lama, maka pihak lain justru
dalam waktu yang bersamaan juga menimbulkan harapan di dalam jiwa istri yang
baru, yang memberikan kemungkinan kepadanya untuk hidup sebagai istri dalam
pengayoman rumahtangga yang mulia.[4]
3) Poligami
dan persamaan hak antara pria dan wanita
Kalau kita berpegang kepada perasaan dan berusaha
untuk mengesampingkan perasaan yang berlain-lainan dan perlombaan diantara
manusia yang sejenis, dalam membahas masalah poligami itu, maka tidaklah
berarti bahwa kita membuangkan masalah kebebasan wanita itu dari perhitungan
pembahasan ini. Karena masalah kebebasan wanita ini sebagian unsurnya ada yang
tidak merupakan masalah perasaan dan perlu dipelajari, diteliti dan dibahas.
Diantaranya bahwa persamaan hak antara laki-laki dan wanita itu kadang-kadang
menimbulkan pertanyaan bagaimana mungkin seorang laki-laki boleh berpoligami
sedang wanita tidak boleh berpoliandri? Bukankah itu merupakan kekurangan
terhadap persamaan hak laki-laki dan wanita?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, penting untuk kita perhatikan bahwa persamaan dalam masalah poligami atau
jelasnya persamaan hak pria dan hak wanita dalam masalah perkawinan mestinya
mengakibatkan jangan ada yang boleh untuk salah satunya tetapi tidak oleh untuk
yang lain. Jadi, dalam soal perkawinan persamaan itu mengakibatkan seorang
suami mencukupkan beristri satu saja atau sama-sama boleh seorang suami
beristri banyak dan seorang istri bersuami banyak. Persamaan hak itu kalau
menyebabkan bolehnya suami beristri banyak, tetapi istri tidak boleh bersuami
banyak, jelas bertentangan dengan ketentuan persamaan hak secara bebas.[5]
4. POLIGAMI DALAM ISLAM
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang
terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan
pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan
dan situasi apapun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin,
hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriyah.
Islam pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran
dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya
memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang
suami. Tetapi islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri
banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat
kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki
harus berbuat demikian karena tidak semua mempunyai kemampuan untuk berpoligami.
Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah
maksimal maupun persyaratan lain seperti :
a) Jumlah
istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah
satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan, suami dapat mencari ganti
yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada yang waktu yang
bersamaan (QS 4:3)
b) Laki-laki
itu dapat berlaku adil terhadap isri-istri dan anak-anaknya yang menyangkut
masalah-masaah lahiriah seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah dan
hal-hal yang menyangkut kepentingan lahir. Sedangkan masalah batin, tentu saja
selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan
poligami sebagai alternatif maupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran
kebutuhan seks laki-laki atau
sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke
lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab
itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tdak terjerumus ke jurang
maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal yaitu boleh
beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.[6]
Dasar
pokok islam yang membolehkan poligami adalah firman Allah SWT :

Artinya : "Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qs.
An Nisa :3).
Berlaku adil yang dimaksudkan adalah perlakuan yang
adil dalam meladeni istri, seperti : pakaian, tempat, giliran dan lain-lain
yang bersifat lahiriah. Islam memang memperbolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Dan ayat tersebut membatasi diperbolehkannya poligami
hanya empat orang saja. Namun, apabila akan berbuat durhaka apabila menikah
dengan lebih dari seorang perempuan maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang
saja.[7]
5. SYARAT-SYARAT POLIGAMI
Syari'at islam membolehkan poligami dengan batasan sampai
empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan
pangan, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan
antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan
tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat
zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia diharamkan
berpoligami. Bila sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menikah
dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri maka
haram baginya menikahi tiga orang. Begitpun juga kalau ia khawatir berbuat
zalim dengan mengawini dua orang
perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.[8]Sebagaimana
dalam firman Allah pada surat An Nisa: 8. Dalam sebuah hadits Nabi SAW juga
disebutkan :
عَن
اَبِى هُرَيْرَةَ انَّ النَّبِيَّ صم. قَالَ : مَنْ كَا نَتْ لَهُ اِمْرَأَتَانِ
فَمَالَ اِلَى احْدَا هُمَا جَاءَ يَوْمَ اقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
Artinya : Dari Abu hurairah r.a.
sesungguhnya Nabi SAW. bersabda : Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri
lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang hari kiamat nanti
dengan punggung miring. (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa'i dan Ibnu Hiban).

Artinya : Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa : 129)
Kalau
ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil pada ayat 3
surat An-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan belaku
adil. Pada hakikatnya kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang
dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriah, bukan kemampuan manusia.
Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat ini adalah adil dalam masalah cinta dan
kasihsayang.
6. KEBIJAKAN HUKUM YANG MENGATUR POLIGAMI DI INDONESIA
Praktik poligami dalam masyarakat Indonesia
modern juga didukung oleh adanya kebijakan hukum dalam pemerintahan Indonesia.
Hukum Perkawinan sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Perkawinan (UUP)
nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) memperbolehkan poligami,
walaupun terbatas hanya sampai empat orang istri. Ketentuan ini tercantum dalam
pasal 3 dan 4 UUP dan pasal 55-59 KHI.
UUP inkonsistensi. Dalam pasal 3 ayat 1 ditegaskan tentang azas monogami,
tetapi ayat berikutnya memberikan kelonggaran kepada suami untuk berpoligami
walau terbatas hanya sampai empat istri. Adapun kebolehan poligami dalam KHI
terdapat pada bab IX pasal 55 sampai
denga 59, antara lain menyebutkan syarat utama poligami harus berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Namun ironisnya, pada
pasal 59 dinyatakan bahwa :
"Dalam
hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur diatur
dalam pasal 55 ayat 2 dan 5, Pengadilan Agama
dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar
istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan
ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi."
Pasal
tersebut mengindikasikan lemahnya posisi istri, karena jika istri menolak
memberikan persetujuan untuk poligami, Pengadilan Agama dapat mengambil alih
kedudukannya sebagai pemberi izin, meskipun di akhir pasal tersebut terdapat
klausul yang memberikan kesempatan kepada istri untuk untuk mengajukan banding.
Alasan yang dipakai Pengadilan
Agama untuk memberikan izin poligami kepada suami antara lain :
1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2.
Istri menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[9]
7. PROSEDUR POLIGAMI
Mengenai
prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada
ketentuan secara pasti, namun di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islamnya, telah
mengatur hal tersebut.
1. Suami
yang berhak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama, yang pengajuannya telah diatur dengan peraturan pemerintah.
2. Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
pengadian agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan agama hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila.
1. istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Disamping syarat-syarat tersebut
diatas, maka untuk memperoleh izin pengadilan agama harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut ;
1. Adanya
persetujuan istri
2. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.
3. Persetujuan
istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis dengan lisan, sekalipun
telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan
lisan pada sidang pengadilan agama.
Persetujuan
tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya
tidak memungkinkan dimintai pesetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya sekurang-kurangnya
dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Kemudian,
dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri
lebih dari satu orang. Berdasarkan salah satu alasan tersebut diatas, maka
pengadilan agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengarkan
istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama dan terhadap penetapan
ini, istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut maka suami dilarang memadu istriya dengan seorang
wanita yang memliliki hubungan nasab atau susuan dengan istrinya :
1. saudara
kandung seayah atau seibu serta keturunannya
2. wanita
dengan bibinya atau kemenakannya.
Larangan tersebut tetap berlaku,
meskipun istri-istrinya telah ditalak raj'i masih dalam masa iddah.[10]
KESIMPULAN
Dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu menurut masyarakat umum adalah poligami.
Dalam islam,
masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan dan masih juga berupa
perkara yang masuk dalam konteks "pertimbangan", hal ini terbukti
dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar sumber hukum dalam
perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan, syarat-syarat serta
ketentuan lain berupa yang kesanggupan, keadilan dan faktor lainnya yang harus
dipenuhi dalam berpoligami.
DAFTAR
PUSTAKA
Tihami, Sohari Sahrani., Fikh Munakahat : Kajian Fiqh
Nikah Lengkap. (Jakarta : Rajawali Pers, 2010).
H.S.A. Alhamdani., Risalah Nikah. (Pekalongan: Raja
Murah. 1980).
Al 'Attar, Abdul Nasir Taufiq .,
Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-Undangan. (Jakarta:
Bulan Bintang. 1976).
Makmun,Rodli., dkk., Poligami
dalam Tafsir Muhammad Syahrur. (Ponorogo: STAIN PONOROGO PRESS. 2009).
[1]
Tihami, Sohari Sahrani., Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap.
(Jakarta : Rajawali Pers, 2010). Hal. 351.
[2]
H.S.A. Alhamdani., Risalah Nikah. (Pekalongan: Raja Murah. 1980). Hal.
72.
[3]
Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang-Undangan. (Jakarta: Bulan Bintang. 1976). Hal. 11
[4]
Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang-Undangan. Hal. 12-13
[5]
Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang-Undangan. Hal. 15-17.
[6]
Tihami, Sohari Sahrani., Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap.
Hal. 358
[7]
Tihami, Sohari Sahrani., Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap.
Hal. 360.
[8]
Tihami, Sohari Sahrani., Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Hal. 362.
[9]
Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. (Ponorogo:
STAIN PONOROGO PRESS. 2009). Hal. 40-41.
[10]
Tihami, Sohari Sahrani., Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Hal.369.