Etika
Jawa
Makalah
Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen
Pengampu: Tedi Kholiludin, M. Si
Disusun
oleh :
Wulanda
Asrifah (1402016019)
Ulfa
Reski Hidayati (1402016029)
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
1. Pendahuluan
Masyarakat Jawa, atau
tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang
dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam
dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa ialah mereka yang bertempat
tinggal di daerah JawaTengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari
kedua daerah tersebut.
Sedangkan Etika Jawa adalah keseluruhan norma
dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk menegetahui bagaimana
seharusnya menjalani hidupnya. Pengetahuan tentang
Etika Jawa berguna untuk mengetahui bagaimana kebudayaan Jawa dapat bertahan
ditengah-tengah gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Kebudayaan Jawa
menemukan dirinya dan berkembang kakhasannya dalam pencernaan masukan masukan
cultural dari luar.
II. Rumusan masalah
1. Apa pengertian etika jawa?
2. Bagaimana ciri-ciri etika jawa?
3. Bagaimana kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa?
4. Bagaimana etika sebagai kebijaksanaan hidup ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Etika
Jawa
Kata
"etika" dalam arti yang sebenarnya berarti "filsafat mengenai
bidang moral". Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai
pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah-istilah moral. Namun dalam buku ini
kata etika saya pergunakan dalam arti yang lebih luas, yaitu sebagai "
keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya". [1]
Pengertian
etika jawa etika jawa adalah ajaran hidup yang umum dipakai dan berlaku di
masyarakat jawa Indonesia.
Ilmu
Etika jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang adat istiadat, pandangan hidup,
nilai-nilai filsafat yang berlangsung di masyarakat jawa.
Menurut
Frans Magnis Soeseno etika jawa adalah panduan hidup yang berlandaskan moral,
hati nurani, dan olah rasa. Terdapat penekanan dimensi keselarasan antara
makrokosmos (manusia) dan mikrokosmos (keteraturan semesta).
Dalam
buku etika jawa frans menjelaskan bahwa orang jawa tidak mengenal baik dan
jahat melainkan orang yang bertindak karena ketidaktahuan, jadi apabila ada
orang yang bertindak merugikan orang lain itu dianggap orang yang belum
mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik.
2.
Ciri-ciri Etika
Jawa
Etika jawa menekankan keharmonisan,
keselarasan dalam setiap dimensi kehidupan salah satunya dimensi dengan alam.
Orang
jawa yang ideal adalah orang jawa yang mendahulukan kewajibannya terlebih
dahulu daripada menuntut hak.
Kerukunan
dalam masyarakat jawa mendahulukan kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi,
artinya semakin besar lingkup komunitasnya semakin mengecil kepentingan
kelompok yang ada di dalamnya. prinsip kerukunan dalam masyarakat jawa dimana keadaan
rukun adalah dimana semua pihak berada dalam kedamaian, suka bekerjasama,
saling asah, asih dan asuh. Hal inilah yang menjadi harapan masyarakat jawa
baik dalam hubungan keluarga, kehidupan sosial, rukun tetangga dan rukun satu
kampung. Kerukunan perlu dilandasi dengan adanya saling percaya antar pribadi.
Adanya keterbukaan terhadap siapa saja, adanya bertanggung jawab dan merasa
adanya saling ketergantungan atau rasa kebesamaan.
Prinsip
kerukunan hidup adalah mencegah terjadinya konflik karena bila terjadi konflik
bagi masyarakat jawa akan berkesan secara mendalam dan selalu diingat atau
sukar untuk melupakan.[2]
3.
Kaidah dasar
kehidupan masyarakat jawa
Seperti
yang telah ditulis oleh Neils Mulder dan Franz Magnis ada 2 prinsip yang
menjadi bahan pertimbangan masyarakat jawa sebelum bertindak atau merespon
sesuatu yaitu prinsip kerukunan dan hormat.
a.
Prinsip
kerukunan
Prinsip
kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang
harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti "berada dalam
keadaan selaras", "tenang dan tentram", "tanpa perselisihan
dan pertentangan", "bersatu dalam maksud untuk saling membantu".
Keadaan
rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain,
suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun
adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan
sosial dalam keluarga, dalam rukun tetangga didesa, dalam setiap pengelompokan
tetap. Suasana seluruh masyarakat harusnya bernapaskan semangat kerukunan.
Kata
rukun juga merujuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti menghilangkan
tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga
hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Rukun
mengandung usaha terus-menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu
sama lain untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan
dan keresahan. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat yang
menyeluruh. Segala apa yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana
keselarasan dalam masyarakat harus dicegah dan disingkirkan.
Dari
uraian diatas kiranya sudah jelas bahwa prinsip kerukunan mempunyai kedudukan
yang amat penting dalam masyarakat jawa.[3]
b.
Prinsip hormat
Kaidah
kedua yang memainkan peranan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat
jawa ialah prinsip hormat. Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara
bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang
lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. "apabila dua orang bertemu,
terutama dua orang jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan
suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan
sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan
tatakrama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat,
adalah amat penting.[4]
Pandangan
itu sendiri berdasarkan cira-cita tentang suatu masyarakat yang teratur baik,
dimana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut
menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan
itu hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan
tuntutan-tuntutan tatakrama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus
diberi hormat. Dengankan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan
lebih rendah adalah sikap kebapaan atau keibuan yang rasa tanggung jawab. Kalau
setiap orang menerima kedudukannya itu maka tatanan sosial terjalin.
Kesadaran
akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kedudukan orang jawa
dalam bahasa jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan
bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana kita
menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Sebagaimana telah
diterangkan dalam hubungan dengan prinsip kerukunan, orang jawa dalam menyapa
orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah
itu memiliki keistimewaan bahwa didalamnya hanpir selalu terungkap segi
yunior-senior.
Apabila
lawan bicara memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi dipergunakan istilah
senior, apabila pangkatnya lebih rendah istilah yunior. Contohnya seorang
laki-laki yang lebih tua bisa disebut mbah (kakek) atau pak, laki-laki yang
sama umurnya atau sedikit lebih muda disebut kak atau kang.yang jauh lebih muda
dipanggil dhik. Seorang wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita
yang sama umurnya disebut mbakyu (kakak perempuan), yang lebih muda dhik.
Penggunaan istilah itu masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosial, makin
tinggi kedudukan seseorang, makin tua dia dalam sebutan, dan sebaliknya. Dan
apabila mereka itu betul-betul masih keluarga maka tanpa memperhatikan
perbandingan umur yang nyata harus dipergunakan istilah dan bahasa yang sesuai
dengan hubungan generasi.
Maka
kiranya benar juga pendapat Hildred Geertz bahwa pikiran pertama seorang jawa
pada permulaan satu pembicaraan adalah "tingkat kehormatan mana yang harus
saya tunjukkan kepadanya".[5]
Kefasihan
dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang jawa
sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Sebagaimana diurainkan oleh
Hildred Geertz pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari
oleh anak jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi,
isin dan sungkan. [6]
4.
Etika sebagai
kebijaksanaan hidup
a.
Etika dan
pengertian
rasa
adalah kategori pengertian. Rasa pertama-tama berkembang dalam suasana keluarga
inti yang secara ideal bebas dari tekanan dan paksaan, dalam lingkungan
keluarga luas dan diantara para tetangga. Di sini orang jawa mengembangkan
kepercayaan dasar ke dalam kelompoknya, di sini berkembang padanya kepekaannya
untuk reaksi-reaksi sesamanya, disini ia mulai mengenal rasa takut terhadap
dunia luar yang berbahaya, disini tumbuhlah di dalamnya sikap-sikap moral dasar
seperti kejujuran, kesediaan untuk menolong dan rasa keadilan, disini ia
membatinkan perintah dasa untuk mencegah konflik-konflik sebagai sesuatu yang
positif dan belajar untuk memahami struktur hirarkis masyarakat. Dalam proses
pertumbuhan ini sikap hidupnya sejak semula distrukturasikan menurut kategori
tempat. Ia mengalami perbedaan antara dalam (kepercayaan, kehangatan,
keakraban, keamanan) dan luar (rasa hormat, malu, sungkan, jarak,
bahaya-bahaya), ia belajar untuk membedakan kedudukan-kedudukan dan pangkat-pangkat
yang berbeda dalam masyarakat dan bahwa individu ditentukan oleh kedudukan dan
pangkat itu. Ia belajar untuk membedakan kewajiban-kewajiban menurut kedudukan
masing-masing dalam masyarakat. Disini ia menginternalisasikan tuntutan-tuntutan
tata krama dan adat istiadat. Dengan demikian berkembanglah rasanya. Melalui
rasanya ia tahu bagaimana ia harus membawa diri dan kelakuan yang sesuai dengan
kebiasaannya.
b.
Bukan masalah
aksi
Bahwa
dalam pandangan jawa sikap dasar moral atau rasa yang benar dengan sendirinya
menjamin kelakuan yang tepat, sedangkan
etika-etika barat sangat mementingkan latihan kehendak untuk
melaksanakan apa yang dipahami sebagai kewajiban moral oleh akal budi, nampak
juga dari ciri khas kedua etika jawa, tujuan terakhir etika ini bukanlah suatu
aksi.
Sebagaimana
telah kita lihat, etika jawa memang menuntut agar setiap orang memenuhi
kewajiban-kewajiban pangkat dan kedudukannya. Setiap orang harus melakukan apa
yang ditugaskan kepadanya oleh kedudukan sosialnya dan oleh nasib pribadinya
dalam dunia. Etika jawa bukan suatu etika kemalasan. Tetapi tindakan yang
dituntut itu bukanlah suatu aksi, bukan suatu gerakan ke luar dari diri sndiri,
dan tujuannya bukanlah suatu perubahan kategoris terhadap dunia. Etika jawa
tidak bermaksud untuk mengubah dunia yang ada menjadi dunia lain yang lebih
baik. Sebagaimana telah diutarakan, perubahan semacam itu menurut pandangan
dunia jawa tidak berada dalam jangkauan kekuatan manusia. Bahkan sama sekali
tidak berada dalam perspektifnya.
Jadi
etika jawa bukanlah etika aksi. Tujuannya bukan perubahan-perubahan tertentu
yang harus dilakukan dalam dan pada dunia, melainkan suatu proses perkembangan
kematangan.
c.
Kedudukan
keutamaan-keutamaan moral
Etika
jawa memperlihatkan diri sebagai etika pengertian. Dalam hubungan ini timbul
pertanyaan mengenai kedudukan keutamaan-keutamaan moral dalam etika ini. Dengan
keutamaan moral saya maksud disini sikap-sikap kehendak yang tetap untuk
bertindak secara moral, artinya menurut norma-norma moral dasar.[7]
d.
Relativasi baik
dan buruk
Salah
satu ciri etika-etika yang mementingkan fungsi
kehendak adalah bahwa dibedakan dengan tajam antara yang baik dan yang
jahat. Karena paham kejahatan secara hakiki menyangkut kehendak, yang jahat
ialah kehendak akan yang salah secara moral. Karena norma-norma tindakan yang
secara moral betul mewajibkan dengan mutlak maka siapa yang tahu bagaimana ia
seharusnya bertindak tetapi tidak juga bertindak demikian melanggar
kewajibannya yang mutlak.
Pemisahan
tak terdamaikan antara baik dan buruk ini dalam etika jawa diperlunak dari dua
sudut. Pertama, dalam etika jawa tindakan moral yang salah tidak dianggap
masalah kehendak buruk, melainkan akibat kekurangan pengertian, orang seperti
itu disebut durung ngerti, ia belum mencapai pengertian.
e.
Moral dan
estetika
Sudah
beberapa kali kita menemukan bahwa menurut etika jawa tindakan kita harus
terarah pada pemeliharaan keselarasan dalam masyarakat dan alam raya sebagai
nilai tertinggi. Tindakan kita betul apabila mendukung keselarasan ini, apabila
kita menepati tempat kita dalam keseluruhan secara selaras. Sebaliknya suatu
tindakan yang mengganggu keselarasan, yang menghasilkan kepincangan,
ketidaktenangan dan kebingungan dalam masyarakat adalah salah. Dalam hubungan ini
ada dua kategori kunci yang dipergunakan dalam etika jawa untuk mengatur semua
unsur lahir dan batin, yaitu kategori alus (halus) dan kasar.
Kita
mengenal "halus" sebagai istilah yang mengungkapkan kehalusan suatu
permukaan, kehalusan dalam kelakuan, kepekaan, ketampanan, kesopanan, dan sebagainya.
"kasar" adalah segala-galanya yang berlawanan dengan halus.
f.
Etika
kebijaksanaan
Tuntutan
dasar etika jawa adalah tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh
lingkungan itu. Dalam bab ini kami mempertanyakan daya ikat tuntutan-tuntutan
itu terhadap individu. Pertanyaan ini erat hubungannya dengan pertanyaan apa
yang dapat menjadi motivasi individu jawa untuk menuruti tuntutan-tuntutan
etikanya.
Sebagaimana
telah kita lihat maka pembedaan yang menentukan dalam etika jawa bukanlah
antara manusia yang baik dan yang jahat, melainkan antara orang yang bijaksana
dan yang bodoh. Siapa yang tidak memenuhi peraturan etika jawa tidak terutama
dianggap sebagai jahat melainkan sebagai bodoh.
Siapa
yang mengejar hawa nafsunya, yang hanya memikirkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan
egois langsungnya sendiri, tidak terutama menimbulkan kemarahan moral,
melainkan dianggap rendah dan disayangkan. Kelakuannya menunjukkan bahwa ia
belum tahu cara hidup mana yang menjadi kepentingannya yang sebenarnya. Dan
sebaliknya orang yang bijaksana menangkap bahwa yang paling baik baginya adalah
hidup yang sesuai dengan peraturan-peraturan moral, bahkan apabila itu berarti
bahwa ia melawan nafsu-nafsunya dan harus rela untuk tidak langsung memenuhi
semua kepentingan jangka pendek.[8]
Kesimpulan
Pengertian etika jawa etika jawa adalah
ajaran hidup yang umum dipakai dan berlaku di masyarakat jawa Indonesia.
Etika
jawa menekankan keharmonisan, keselarasan dalam setiap dimensi kehidupan salah
satunya dimensi dengan alam.
Orang
jawa yang ideal adalah orang jawa yang mendahulukan kewajibannya terlebih
dahulu daripada menuntut hak.
Seperti
yang telah ditulis oleh Neils Mulder dan Franz Magnis ada 2 prinsip yang
menjadi bahan pertimbangan masyarakat jawa sebelum bertindak atau merespon
sesuatu yaitu prinsip kerukunan dan hormat.
Daftar Pustaka
Thomas Wijasa Bratawijaya. Mengungkap dan
Mengenal Budaya Jawa. (Jakarta : PT Pradnya Paramita. 1997)
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. (Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama. 2013)
[1]
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2013)
hlm. 6
[2]
Thomas Wijasa Bratawijaya. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. (Jakarta : PT
Pradnya Paramita. 1997) hlm. 81
[3]
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 52
[4]
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 60
[5]
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 60-61
[6]
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 63
[7]
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 204
[8]
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa
Tidak ada komentar :
Posting Komentar