Selasa, 02 Juni 2015

Makalah Tentang Etika Jawa




Etika Jawa
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu: Tedi Kholiludin, M. Si



Disusun oleh :
Wulanda Asrifah                     (1402016019)
Ulfa Reski Hidayati                (1402016029)


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015





1.      Pendahuluan

Masyarakat Jawa, atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa ialah mereka yang bertempat tinggal di daerah JawaTengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut.
 Sedangkan Etika Jawa adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk menegetahui bagaimana seharusnya menjalani hidupnya. Pengetahuan tentang Etika Jawa berguna untuk mengetahui bagaimana kebudayaan Jawa dapat bertahan ditengah-tengah gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Kebudayaan Jawa menemukan dirinya dan berkembang kakhasannya dalam pencernaan masukan masukan cultural dari luar.

II. Rumusan masalah
1. Apa pengertian etika jawa?
2. Bagaimana ciri-ciri etika jawa?
3. Bagaimana kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa?
4. Bagaimana etika sebagai kebijaksanaan hidup ?








BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Etika Jawa
Kata "etika" dalam arti yang sebenarnya berarti "filsafat mengenai bidang moral". Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah-istilah moral. Namun dalam buku ini kata etika saya pergunakan dalam arti yang lebih luas, yaitu sebagai " keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya". [1]
Pengertian etika jawa etika jawa adalah ajaran hidup yang umum dipakai dan berlaku di masyarakat jawa Indonesia.
Ilmu Etika jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang adat istiadat, pandangan hidup, nilai-nilai filsafat yang berlangsung di masyarakat jawa.
Menurut Frans Magnis Soeseno etika jawa adalah panduan hidup yang berlandaskan moral, hati nurani, dan olah rasa. Terdapat penekanan dimensi keselarasan antara makrokosmos (manusia) dan mikrokosmos (keteraturan semesta).
Dalam buku etika jawa frans menjelaskan bahwa orang jawa tidak mengenal baik dan jahat melainkan orang yang bertindak karena ketidaktahuan, jadi apabila ada orang yang bertindak merugikan orang lain itu dianggap orang yang belum mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik.
2.      Ciri-ciri Etika Jawa
 Etika jawa menekankan keharmonisan, keselarasan dalam setiap dimensi kehidupan salah satunya dimensi dengan alam.
Orang jawa yang ideal adalah orang jawa yang mendahulukan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut hak.
Kerukunan dalam masyarakat jawa mendahulukan kerukunan sosial daripada kerukunan pribadi, artinya semakin besar lingkup komunitasnya semakin mengecil kepentingan kelompok yang ada di dalamnya. prinsip kerukunan dalam masyarakat jawa dimana keadaan rukun adalah dimana semua pihak berada dalam kedamaian, suka bekerjasama, saling asah, asih dan asuh. Hal inilah yang menjadi harapan masyarakat jawa baik dalam hubungan keluarga, kehidupan sosial, rukun tetangga dan rukun satu kampung. Kerukunan perlu dilandasi dengan adanya saling percaya antar pribadi. Adanya keterbukaan terhadap siapa saja, adanya bertanggung jawab dan merasa adanya saling ketergantungan atau rasa kebesamaan.
Prinsip kerukunan hidup adalah mencegah terjadinya konflik karena bila terjadi konflik bagi masyarakat jawa akan berkesan secara mendalam dan selalu diingat atau sukar untuk melupakan.[2]
3.      Kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa
Seperti yang telah ditulis oleh Neils Mulder dan Franz Magnis ada 2 prinsip yang menjadi bahan pertimbangan masyarakat jawa sebelum bertindak atau merespon sesuatu yaitu prinsip kerukunan dan hormat.
a.       Prinsip kerukunan
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti "berada dalam keadaan selaras", "tenang dan tentram", "tanpa perselisihan dan pertentangan", "bersatu dalam maksud untuk saling membantu".
Keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial dalam keluarga, dalam rukun tetangga didesa, dalam setiap pengelompokan tetap. Suasana seluruh masyarakat harusnya bernapaskan semangat kerukunan.
Kata rukun juga merujuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Rukun mengandung usaha terus-menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat yang menyeluruh. Segala apa yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah dan disingkirkan.
Dari uraian diatas kiranya sudah jelas bahwa prinsip kerukunan mempunyai kedudukan yang amat penting dalam masyarakat jawa.[3]
b.      Prinsip hormat
Kaidah kedua yang memainkan peranan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat jawa ialah prinsip hormat. Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. "apabila dua orang bertemu, terutama dua orang jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat, adalah amat penting.[4]
Pandangan itu sendiri berdasarkan cira-cita tentang suatu masyarakat yang teratur baik, dimana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan tatakrama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat. Dengankan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah sikap kebapaan atau keibuan yang rasa tanggung jawab. Kalau setiap orang menerima kedudukannya itu maka tatanan sosial terjalin.
Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kedudukan orang jawa dalam bahasa jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Sebagaimana telah diterangkan dalam hubungan dengan prinsip kerukunan, orang jawa dalam menyapa orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan bahwa didalamnya hanpir selalu terungkap segi yunior-senior.
Apabila lawan bicara memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi dipergunakan istilah senior, apabila pangkatnya lebih rendah istilah yunior. Contohnya seorang laki-laki yang lebih tua bisa disebut mbah (kakek) atau pak, laki-laki yang sama umurnya atau sedikit lebih muda disebut kak atau kang.yang jauh lebih muda dipanggil dhik. Seorang wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita yang sama umurnya disebut mbakyu (kakak perempuan), yang lebih muda dhik. Penggunaan istilah itu masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosial, makin tinggi kedudukan seseorang, makin tua dia dalam sebutan, dan sebaliknya. Dan apabila mereka itu betul-betul masih keluarga maka tanpa memperhatikan perbandingan umur yang nyata harus dipergunakan istilah dan bahasa yang sesuai dengan hubungan generasi.
Maka kiranya benar juga pendapat Hildred Geertz bahwa pikiran pertama seorang jawa pada permulaan satu pembicaraan adalah "tingkat kehormatan mana yang harus saya tunjukkan kepadanya".[5]
Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Sebagaimana diurainkan oleh Hildred Geertz pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi, isin dan sungkan. [6]
4.      Etika sebagai kebijaksanaan hidup
a.       Etika dan pengertian
rasa adalah kategori pengertian. Rasa pertama-tama berkembang dalam suasana keluarga inti yang secara ideal bebas dari tekanan dan paksaan, dalam lingkungan keluarga luas dan diantara para tetangga. Di sini orang jawa mengembangkan kepercayaan dasar ke dalam kelompoknya, di sini berkembang padanya kepekaannya untuk reaksi-reaksi sesamanya, disini ia mulai mengenal rasa takut terhadap dunia luar yang berbahaya, disini tumbuhlah di dalamnya sikap-sikap moral dasar seperti kejujuran, kesediaan untuk menolong dan rasa keadilan, disini ia membatinkan perintah dasa untuk mencegah konflik-konflik sebagai sesuatu yang positif dan belajar untuk memahami struktur hirarkis masyarakat. Dalam proses pertumbuhan ini sikap hidupnya sejak semula distrukturasikan menurut kategori tempat. Ia mengalami perbedaan antara dalam (kepercayaan, kehangatan, keakraban, keamanan) dan luar (rasa hormat, malu, sungkan, jarak, bahaya-bahaya), ia belajar untuk membedakan kedudukan-kedudukan dan pangkat-pangkat yang berbeda dalam masyarakat dan bahwa individu ditentukan oleh kedudukan dan pangkat itu. Ia belajar untuk membedakan kewajiban-kewajiban menurut kedudukan masing-masing dalam masyarakat. Disini ia menginternalisasikan tuntutan-tuntutan tata krama dan adat istiadat. Dengan demikian berkembanglah rasanya. Melalui rasanya ia tahu bagaimana ia harus membawa diri dan kelakuan yang sesuai dengan kebiasaannya.
b.      Bukan masalah aksi
Bahwa dalam pandangan jawa sikap dasar moral atau rasa yang benar dengan sendirinya menjamin kelakuan yang tepat, sedangkan  etika-etika barat sangat mementingkan latihan kehendak untuk melaksanakan apa yang dipahami sebagai kewajiban moral oleh akal budi, nampak juga dari ciri khas kedua etika jawa, tujuan terakhir etika ini bukanlah suatu aksi.
Sebagaimana telah kita lihat, etika jawa memang menuntut agar setiap orang memenuhi kewajiban-kewajiban pangkat dan kedudukannya. Setiap orang harus melakukan apa yang ditugaskan kepadanya oleh kedudukan sosialnya dan oleh nasib pribadinya dalam dunia. Etika jawa bukan suatu etika kemalasan. Tetapi tindakan yang dituntut itu bukanlah suatu aksi, bukan suatu gerakan ke luar dari diri sndiri, dan tujuannya bukanlah suatu perubahan kategoris terhadap dunia. Etika jawa tidak bermaksud untuk mengubah dunia yang ada menjadi dunia lain yang lebih baik. Sebagaimana telah diutarakan, perubahan semacam itu menurut pandangan dunia jawa tidak berada dalam jangkauan kekuatan manusia. Bahkan sama sekali tidak berada dalam perspektifnya.
Jadi etika jawa bukanlah etika aksi. Tujuannya bukan perubahan-perubahan tertentu yang harus dilakukan dalam dan pada dunia, melainkan suatu proses perkembangan kematangan.
c.       Kedudukan keutamaan-keutamaan moral
Etika jawa memperlihatkan diri sebagai etika pengertian. Dalam hubungan ini timbul pertanyaan mengenai kedudukan keutamaan-keutamaan moral dalam etika ini. Dengan keutamaan moral saya maksud disini sikap-sikap kehendak yang tetap untuk bertindak secara moral, artinya menurut norma-norma moral dasar.[7]
d.      Relativasi baik dan buruk
Salah satu ciri etika-etika yang mementingkan fungsi  kehendak adalah bahwa dibedakan dengan tajam antara yang baik dan yang jahat. Karena paham kejahatan secara hakiki menyangkut kehendak, yang jahat ialah kehendak akan yang salah secara moral. Karena norma-norma tindakan yang secara moral betul mewajibkan dengan mutlak maka siapa yang tahu bagaimana ia seharusnya bertindak tetapi tidak juga bertindak demikian melanggar kewajibannya yang mutlak.
Pemisahan tak terdamaikan antara baik dan buruk ini dalam etika jawa diperlunak dari dua sudut. Pertama, dalam etika jawa tindakan moral yang salah tidak dianggap masalah kehendak buruk, melainkan akibat kekurangan pengertian, orang seperti itu disebut durung ngerti, ia belum mencapai pengertian.
e.       Moral dan estetika
Sudah beberapa kali kita menemukan bahwa menurut etika jawa tindakan kita harus terarah pada pemeliharaan keselarasan dalam masyarakat dan alam raya sebagai nilai tertinggi. Tindakan kita betul apabila mendukung keselarasan ini, apabila kita menepati tempat kita dalam keseluruhan secara selaras. Sebaliknya suatu tindakan yang mengganggu keselarasan, yang menghasilkan kepincangan, ketidaktenangan dan kebingungan dalam masyarakat adalah salah. Dalam hubungan ini ada dua kategori kunci yang dipergunakan dalam etika jawa untuk mengatur semua unsur lahir dan batin, yaitu kategori alus (halus) dan kasar.
Kita mengenal "halus" sebagai istilah yang mengungkapkan kehalusan suatu permukaan, kehalusan dalam kelakuan, kepekaan, ketampanan, kesopanan, dan sebagainya. "kasar" adalah segala-galanya yang berlawanan dengan halus.
f.       Etika kebijaksanaan
Tuntutan dasar etika jawa adalah tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat dan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh lingkungan itu. Dalam bab ini kami mempertanyakan daya ikat tuntutan-tuntutan itu terhadap individu. Pertanyaan ini erat hubungannya dengan pertanyaan apa yang dapat menjadi motivasi individu jawa untuk menuruti tuntutan-tuntutan etikanya.
Sebagaimana telah kita lihat maka pembedaan yang menentukan dalam etika jawa bukanlah antara manusia yang baik dan yang jahat, melainkan antara orang yang bijaksana dan yang bodoh. Siapa yang tidak memenuhi peraturan etika jawa tidak terutama dianggap sebagai jahat melainkan sebagai bodoh.
Siapa yang mengejar hawa nafsunya, yang hanya memikirkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan egois langsungnya sendiri, tidak terutama menimbulkan kemarahan moral, melainkan dianggap rendah dan disayangkan. Kelakuannya menunjukkan bahwa ia belum tahu cara hidup mana yang menjadi kepentingannya yang sebenarnya. Dan sebaliknya orang yang bijaksana menangkap bahwa yang paling baik baginya adalah hidup yang sesuai dengan peraturan-peraturan moral, bahkan apabila itu berarti bahwa ia melawan nafsu-nafsunya dan harus rela untuk tidak langsung memenuhi semua kepentingan jangka pendek.[8]














Kesimpulan

     Pengertian etika jawa etika jawa adalah ajaran hidup yang umum dipakai dan berlaku di masyarakat jawa Indonesia.
Etika jawa menekankan keharmonisan, keselarasan dalam setiap dimensi kehidupan salah satunya dimensi dengan alam.
Orang jawa yang ideal adalah orang jawa yang mendahulukan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut hak.
Seperti yang telah ditulis oleh Neils Mulder dan Franz Magnis ada 2 prinsip yang menjadi bahan pertimbangan masyarakat jawa sebelum bertindak atau merespon sesuatu yaitu prinsip kerukunan dan hormat.














Daftar Pustaka
Thomas Wijasa Bratawijaya. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. (Jakarta : PT Pradnya Paramita. 1997)
Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2013)


[1] Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2013) hlm. 6
[2] Thomas Wijasa Bratawijaya. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. (Jakarta : PT Pradnya Paramita. 1997) hlm. 81
[3] Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 52
[4] Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 60
[5] Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 60-61
[6] Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 63
[7] Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. Hlm. 204
[8] Franz Magnis Suseno. Etika Jawa

Tidak ada komentar :

Posting Komentar