Selasa, 02 Juni 2015

Lembaga keuangan Syariah



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
 Lembaga keuangan merupakan lembaga intermediasi yang mempertemukan antara pihak yang mempunyai dana lebih (surplus of fund) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of fund). Lembaga keuangan syari'ah merupakan lembaga keuangan yang didalamnya terdapat usaha di bidang jasa keuangan, dimana perusahaan tersebut seluk beluknya telah disesuaikan sehingga tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam islam. Lembaga keuangan syari'ah sebagai bagian dari sistem ekonomi syari'ah maka dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari ajaran-ajaran dalam alqur'an dan hadits.
            Lembaga keuangan syari'ah merupakan transformasi dari teori-teori alquran yang didalamya terdapat instruksi mengenai aktivitas-aktivitas dalam menjalankan praktik-praktik ekonomi yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Dimana praktik-praktik kegiatan perekonomian tersebut sesuai dengan pandangan islam, salah satunya dalam hal keseimbangan yang balance antara dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, serta iman dan kekuasaan.
             

B. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian Lembaga Keuangan Syari'ah?
  2. Bagaimana sejarah Lembaga Keuangan Syari'ah?
  3. Bagaimana prinsip Lembaga Keuangan Syari'ah?
  4. Bagaimana ciri-ciri Lembaga Keuangan Syari'ah?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
 Lembaga keuangan (Financial Institution) adalah suatu perusahaan yang usahanya bergerak dibidang jasa keuangan. Artinya kegiatan yang dilakukan lembaga ini akan selalu berkaitan dengan bidang keuangan, apakah penghimpunan dana, menyalurkan, dan atau jasa-jasa keuangan lainnya.[1]
Menurut SK Menkeu RI No.792 Tahun 1990, lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.[2] Meski dalam peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai investasi perusahaan, namun tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga keuangan. Dalam kenyataannya kegiatan lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi investasi perusahaan, kegiatan komsumsi, dan kegiatan distribusi barang dan jasa.[3]  
Lembaga keuangan pada dasarnya adalah lembaga yang menghubungkan antara pihak yang memerlukan dana dan pihak yang mengalami surplus dana. Pentingnya keberadaan lembaga keuangan tentu saja muncul setelah digunakan uang sebagai alat tukar dalam perekonomian. Berdasarkan peran tersebut, lembaga keuangan memiliki dua kegiatan utama yaitu penghimpunan dana dari unit surplus dan penyaluran dana pada unit deficit.[4]
Lembaga Keuangan Syari'ah sebagai bagian dari sistem ekonomi syari'ah, dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan syari'ah. Oleh karena itu, lembaga keuangan syari'ah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang didalamnya terkandung hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari'ah, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaiatan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian peredaran narkoba, senjata ilegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syi'ar islam.[5]




B. Sejarah Lembaga Keuangan Syari'ah.
Lembaga keuangan Syari’ah dibentuk sebagai perwujudan dari adanya kesadaran masyarakat terhadap aplikasi ajaran Islam dengan menggunakan sistem ekonomi Islam, yakni sistem ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-hari bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-undangan Islam.[6] Sehingga lembaga keuangan syari’ah merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip Islam (syari’ah) sebagai landasan oprasionalnya. Dengan demikian semua transaksi yang dioprasionalkan tidak lepas dari aturan syari’at dan tidak bertentangan dengannya.
Keberadaan lembaga keuangan syari’ah pada awalnya dirintis dari adanya sidang menteri luar negri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973. kemudian pada bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak, bertemu di Jeddah untuk membicarakan berdirinya bank syari’ah. Rancangan pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang menteri keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian bank pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 Milyar dinar Islam.[7]
Dengan berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk lembaga keuangan syari’ah. Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syari’ah. Kerja keras ini membuahkan hasil sehingga pada akhir tahun 1970-an dan awal dekade 80-an, bank-bank syari’ah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-­negara Teluk, Pakistan, Iran, Malasyia, Bangladesh serta Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua kategori. Pertama, bank Islam (Islamic Comersial Bank), kedua, lembaga investasi dalam bentuk international holding companies.[8]
      Bank-bank yang masuk dalam kategori pertama di antaranya:

1.    Faisal Islamic Bank
2.    Kuwait Finance House
3.    Dubai Islamic Bank
4.    Jordan Islamic Bank for Finance and Investment
5.    Bahrain Islamic Bank
6.    Islamic International Bank for Investment and Development.
Adapun yang masuk dalam kategori kedua adalah:

1.      Dar al-Mal al-Islami
2.      Islamic Investment Company of the Gulf.
3.      Bahrain Islamic Investment Bank
4.      Islamic Investment House.

  Pada perkembangan berikutnya, perkembangan lembaga keuangan syari’ah begitu pesat di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam di Indonesia mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwaatmaja, M. Dawam Raharjo, A.M. saefuddin, M. Amin Aziz dan lain-lain. Beberapa uji coba dalam skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah baitul al-Tamwil Salman, Bandung yang tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni koperasi ridlo Gusti.
Akan tetapi prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majlis Ulama Indonesia pada tanggal 18-20 Agustus 1990 mengadakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor. Hasil lokakarya tersebut, dibahas secara lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam Indonesia. Akhirnya tanggal 1 November 1991 dilakukan penandatanganan akta pendirian Bank Muamalat Indonesia oleh 200 orang pendiri dengan total modal dasar Rp. 500 miliar.
Perkembangan bank Syari’ah begitu pesat saat era reformasi tiba yakni dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. dalam undang-undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis jenis usaha yang dapat diopreasionalkan dan diimplementasikan oleh bank syari’ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syari’ah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syari’ah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syari’ah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka devisi atau cabang syari’ah dalam institusinya. Bahkan ada ingin melakukan mengkonversi secara total.
Bank-bank tersebut di antaranya adalah Bank Syari’ah Mandiri (BSM) yang merupakan bank pemerintah yang melandaskan opresionalnya pada prinsip syari’ah. Secara struktural, BSM berasal dari bank Susila Bakti sebagai salah satu anak perusahaan dari Bank Mandiri.
Perkembangan lainnya adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syari’ah. Beberapa bank ini adalah: Bank IFI, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI,BPD JABAR, BPD Aceh,Bank Bukopin.
Lembaga keuangan syari’ah di samping berbentuk bank sebagaimana di atas, terdapat juga Badan Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS). Selain itu terdapat pula lembaga keuangan non bank yang dikenal dengan baitul mal wat-tamwil (BMT).


C. Ciri-ciri Lembaga Keuangan Syari'ah.
                        Ciri-ciri Lembaga Keuangan Syari'ah dapat dilihat dari hal-hal berikut:
a)      Dalam menerima titipan dan investasi, lembaga keuangan syari'ah harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syari'ah.
b)      Hubungan antar investor (penyimpan dana),penggunaan dana,dan lembaga keuangan syari'ah sebagai intermediasi istitution berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur.
c)      Bisnis lembaga keuangan syari'ah bukan hanya berdasarkan profit oriented, tetapi juga  falah oriented,  yakni kemakmuran didunia dan diakhirat.
d)     Konsep yang diperguanakan dalam transaksi lembaga keuangan syari'ah berdasarkan prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa-menyewa guna transaksi komersial, dan pinjam-meminjam (qardhi/kredit) guna transaksi sosial.
e)      Lembaga keuangan syari'ah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syi'ar islam.
Berdasarkan ciri-ciri lembaga keuangan syari'ah yang diungkapkan diatas, dapat dipahami bahwa untuk membangun sebuah usaha, pada prinsipnya salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang tetapi meliputi materi, baik berupa uang dan atau materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Semua hal itu harus selalu berdasar prinsip syariah.[9]
C. Prinsip Lembaga Keuangan Syari'ah.
Secara umum, prinsip dasar lembaga keuangan syariah dan keuangan syari'ah memiliki dasar akad sama seperti bagi hasil, jual beli, sewa, kerjasama, penitipan, dan sebagainya. Prinsip dasar sebagai berikut :
Keadilan
  1. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
  2. Tata hubungan sederajat (tidak ada pihak yang dirugikan)
  3. Menempatkan sesuatu pada tempatnya
Maslahah
  1. Orientasi pada kebutuhan masyarakat banyak
  2. Orientasi pemenuhan kebutuhan dasar bukan keinginan
  3. Investasi pada sektor halal
  4. Tidak merusak lingkungan
Zakat
  1. Social safety net
  2. Zakat bukan charity tetapi kewajiban
  3. Mendorong aset untuk diinvestasikan
  4. Upaya pengendalian harta masyarakat untuk investasi bukan distribusi
Bebas dari riba
  1. Masa depan tidak dapat dipastikan
  2. Menghindari adanya pihak yang tereksploitasi
  3. Pengoptimalan aliran investasi
  4. Maysir (bebas dari spekulasi)
  5. Meminalisasi tindakan spekulasi
  6. Mendorong investasi di sektor riil
  7. Mendorong masyarakat berperilaku untuk orientasi jangka panjang
Menghindari Gharar
  1. Symmetric information
  2. Meminimalkan transaksi yang tidak transparan
  3. Mempromosikan transparansi pada setiap transaksi
Menghindari Bathil (bebas dari hal yang tidak sah)
  1. Uang bukan untuk diperdagangkan
  2. Uang bernilai apabila diinvestasikan
  3. Pertumbuhan uang sejalan dengan sektor riil
  4. Tidak mengenal konsep “time value of money” tetapi “economic value of money”.[10]




PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga keuangan (Financial Institution) adalah suatu perusahaan yang usahanya bergerak dibidang jasa keuangan. Artinya kegiatan yang dilakukan lembaga ini akan selalu berkaitan dengan bidang keuangan, apakah penghimpunan dana, menyalurkan, dan atau jasa-jasa keuangan lainnya.
 Lembaga keuangan syari'ah merupakan transformasi dari teori-teori alquran yang didalamya terdapat instruksi mengenai aktivitas-aktivitas dalam menjalankan praktik-praktik ekonomi yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat.
Lembaga keuangan syari'ah yang diungkapkan diatas, dapat dipahami bahwa untuk membangun sebuah usaha, pada prinsipnya salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang tetapi meliputi materi, baik berupa uang dan atau materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Semua hal itu harus selalu berdasar prinsip syariah.

B. Saran

 Alhamdulillah Kami dapat menyelesaikan  makalah ini. Makalah ini tidak luput dari  kesalahan, baik dalam sistematika penulisan maupun isi dari makalah. Maka dari itu kritik dan saran dari pembaca sangat Kami harapkan agar dapat kami gunakan sebagai bahan evaluasi makalah kami selanjutnya.













Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin., Hukum Perbankan Syari'ah,(Jakarta: Sinar Grafika. 2008).
Antonio, Muhammad Syafi’i., Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000)
Burhanuddin S,. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari'ah,(Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010).
 Busisantoso,Totok., Sigit Triandaru. Bank dan Lembaga Keuangan Lain,(Jakarta: Salemba  Empat. 2011).
K. Lubis, Suhrawardi., Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002).
 Soemitra, Andri., Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah,(Jakarta: Kencana. 2009).

http://mysharing.co/prinsip-dasar-keuangan-syariah/#ixzz3avtkGeoS. (diakses tanggal 23 Mei 2015 pukul: 11.03).


[1] Burhanuddin S. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari'ah,(Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010),hal. 13
[2] Andri Soemitra. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah,(Jakarta: Kencana. 2009),hal. 27
[3] Andri Soemitra. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah, hal.27-28.
[4] Totok Busisantoso,Sigit Triandaru. Bank dan Lembaga Keuangan Lain,(Jakarta: Salemba Empat. 2011), hal.2
[5] Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syari'ah,(Jakarta: Sinar Grafika. 2008), hal. 58
[6] 1 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hlm. 14.
[7] 2 Muhammad Syafi’i Antonio, Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 20
[8]  Muhammad Syafi’i Antonio, Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek.hlm. 21

[9] Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syari'ah.hal. 59-60.
[10] http://mysharing.co/prinsip-dasar-keuangan-syariah/#ixzz3avtkGeoS. (diakses tanggal 23 Mei 2015 pukul: 11.03).

Tidak ada komentar :

Posting Komentar