BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Lembaga keuangan merupakan lembaga
intermediasi yang mempertemukan antara pihak yang mempunyai dana lebih (surplus
of fund) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of fund). Lembaga keuangan syari'ah
merupakan lembaga keuangan yang didalamnya terdapat usaha di bidang jasa
keuangan, dimana perusahaan tersebut seluk beluknya telah disesuaikan sehingga
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam islam. Lembaga keuangan
syari'ah sebagai bagian dari sistem ekonomi syari'ah maka dalam menjalankan
bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari ajaran-ajaran dalam alqur'an dan
hadits.
Lembaga keuangan syari'ah merupakan transformasi dari teori-teori
alquran yang didalamya terdapat instruksi mengenai aktivitas-aktivitas dalam
menjalankan praktik-praktik ekonomi yang sangat penting dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dimana praktik-praktik kegiatan perekonomian tersebut sesuai dengan
pandangan islam, salah satunya dalam hal keseimbangan yang balance
antara dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan
kenyataan, serta iman dan kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian Lembaga Keuangan Syari'ah?
- Bagaimana sejarah Lembaga Keuangan Syari'ah?
- Bagaimana prinsip Lembaga Keuangan Syari'ah?
- Bagaimana ciri-ciri Lembaga Keuangan Syari'ah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
Lembaga keuangan (Financial
Institution) adalah suatu perusahaan yang usahanya bergerak dibidang jasa
keuangan. Artinya kegiatan yang dilakukan lembaga ini akan selalu berkaitan
dengan bidang keuangan, apakah penghimpunan dana, menyalurkan, dan atau
jasa-jasa keuangan lainnya.[1]
Menurut
SK Menkeu RI No.792 Tahun 1990, lembaga keuangan adalah semua badan yang
kegiatannya bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada
masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.[2]
Meski dalam peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai
investasi perusahaan, namun tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga
keuangan. Dalam kenyataannya kegiatan lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi
investasi perusahaan, kegiatan komsumsi, dan kegiatan distribusi barang dan
jasa.[3]
Lembaga
keuangan pada dasarnya adalah lembaga yang menghubungkan antara pihak yang
memerlukan dana dan pihak yang mengalami surplus dana. Pentingnya keberadaan
lembaga keuangan tentu saja muncul setelah digunakan uang sebagai alat tukar
dalam perekonomian. Berdasarkan peran tersebut, lembaga keuangan memiliki dua
kegiatan utama yaitu penghimpunan dana dari unit surplus dan penyaluran dana pada
unit deficit.[4]
Lembaga
Keuangan Syari'ah sebagai bagian dari sistem ekonomi syari'ah, dalam
menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan syari'ah.
Oleh karena itu, lembaga keuangan syari'ah tidak akan mungkin membiayai
usaha-usaha yang didalamnya terkandung hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari'ah, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat
luas, berkaiatan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian peredaran narkoba,
senjata ilegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syi'ar islam.[5]
B. Sejarah Lembaga Keuangan Syari'ah.
Lembaga keuangan Syari’ah dibentuk
sebagai perwujudan dari adanya kesadaran masyarakat terhadap aplikasi ajaran Islam dengan menggunakan
sistem ekonomi Islam, yakni sistem ekonomi yang dilaksanakan
dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi)
sehari-hari bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisasi
faktor produksi, distribusi dan
pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-undangan
Islam.[6]
Sehingga lembaga keuangan syari’ah
merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip Islam (syari’ah) sebagai landasan oprasionalnya. Dengan
demikian semua transaksi yang dioprasionalkan
tidak lepas dari aturan syari’at dan tidak bertentangan dengannya.
Keberadaan lembaga keuangan syari’ah pada awalnya dirintis
dari adanya sidang
menteri luar negri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973. kemudian pada bulan Juli 1973, komite ahli yang
mewakili negara-negara Islam penghasil minyak, bertemu di Jeddah untuk
membicarakan berdirinya bank syari’ah. Rancangan pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang menteri keuangan
OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan
pendirian bank pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 Milyar
dinar Islam.[7]
Dengan berdirinya IDB telah
memotivasi banyak negara Islam untuk lembaga keuangan syari’ah. Untuk itu, komite ahli IDB pun
bekerja keras menyiapkan
panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syari’ah. Kerja keras ini membuahkan
hasil sehingga pada akhir tahun 1970-an dan awal dekade 80-an, bank-bank syari’ah bermunculan di
Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malasyia, Bangladesh serta
Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua kategori. Pertama,
bank Islam (Islamic Comersial Bank),
kedua, lembaga investasi dalam bentuk international holding companies.[8]
Bank-bank yang masuk dalam
kategori pertama di antaranya:
1. Faisal Islamic Bank
2. Kuwait Finance House
3. Dubai Islamic Bank
4. Jordan Islamic Bank for Finance and
Investment
5. Bahrain Islamic Bank
6. Islamic International Bank for
Investment and Development.
Adapun
yang masuk dalam kategori kedua adalah:
1.
Dar al-Mal al-Islami
2.
Islamic
Investment Company of the Gulf.
3.
Bahrain Islamic Investment Bank
4.
Islamic Investment House.
Pada
perkembangan berikutnya, perkembangan lembaga keuangan syari’ah begitu pesat di
berbagai negara muslim, termasuk Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi
mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam di Indonesia mulai
dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A.
Perwaatmaja, M. Dawam Raharjo, A.M. saefuddin, M. Amin Aziz dan lain-lain.
Beberapa uji coba dalam skala yang relatif terbatas telah diwujudkan.
Di antaranya adalah baitul al-Tamwil Salman, Bandung yang tumbuh
mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi,
yakni koperasi ridlo Gusti.
Akan tetapi prakarsa lebih
khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majlis
Ulama Indonesia pada tanggal 18-20 Agustus 1990 mengadakan lokakarya bunga bank dan
perbankan di Cisarua Bogor. Hasil lokakarya tersebut, dibahas secara lebih
mendalam pada musyawarah
nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Syahid Jakarta pada tanggal
22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut dibentuk kelompok
kerja untuk mendirikan bank Islam Indonesia. Akhirnya tanggal 1 November 1991
dilakukan penandatanganan akta pendirian Bank Muamalat Indonesia oleh 200 orang
pendiri dengan total modal dasar Rp. 500 miliar.
Perkembangan bank Syari’ah begitu pesat saat era
reformasi tiba yakni dengan disetujuinya Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998. dalam undang-undang tersebut diatur secara rinci landasan hukum serta jenis jenis usaha yang
dapat diopreasionalkan dan
diimplementasikan oleh bank syari’ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank
konvensional untuk membuka cabang
syari’ah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syari’ah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh
masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan
pelatihan dalam bidang perbankan syari’ah bagi
para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka devisi atau cabang syari’ah dalam institusinya. Bahkan ada
ingin melakukan mengkonversi secara total.
Bank-bank tersebut di antaranya adalah Bank
Syari’ah Mandiri (BSM) yang merupakan bank pemerintah yang
melandaskan opresionalnya pada prinsip syari’ah. Secara struktural, BSM berasal dari bank Susila Bakti sebagai
salah satu anak perusahaan dari Bank Mandiri.
Perkembangan lainnya adalah diperkenankannya
konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang
syari’ah. Beberapa bank ini adalah: Bank IFI, Bank Niaga,
Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI,BPD JABAR, BPD Aceh,Bank Bukopin.
Lembaga
keuangan syari’ah di samping berbentuk bank sebagaimana di atas,
terdapat juga Badan Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS). Selain itu terdapat pula lembaga
keuangan non bank yang dikenal dengan baitul mal wat-tamwil (BMT).
C.
Ciri-ciri Lembaga Keuangan Syari'ah.
Ciri-ciri
Lembaga Keuangan Syari'ah dapat dilihat dari hal-hal berikut:
a) Dalam
menerima titipan dan investasi, lembaga keuangan syari'ah harus sesuai dengan
fatwa Dewan Pengawas Syari'ah.
b) Hubungan
antar investor (penyimpan dana),penggunaan dana,dan lembaga keuangan syari'ah
sebagai intermediasi istitution berdasarkan kemitraan, bukan hubungan
debitur-kreditur.
c) Bisnis
lembaga keuangan syari'ah bukan hanya berdasarkan profit oriented,
tetapi juga falah oriented, yakni kemakmuran didunia dan diakhirat.
d) Konsep
yang diperguanakan dalam transaksi lembaga keuangan syari'ah berdasarkan
prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa-menyewa guna transaksi
komersial, dan pinjam-meminjam (qardhi/kredit) guna transaksi sosial.
e) Lembaga
keuangan syari'ah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan
kemudharatan serta tidak merugikan syi'ar islam.
Berdasarkan
ciri-ciri lembaga keuangan syari'ah yang diungkapkan diatas, dapat dipahami bahwa
untuk membangun sebuah usaha, pada prinsipnya salah satu yang dibutuhkan adalah
modal. Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang tetapi meliputi
materi, baik berupa uang dan atau materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan.
Semua hal itu harus selalu berdasar prinsip syariah.[9]
C.
Prinsip Lembaga Keuangan Syari'ah.
Secara umum,
prinsip dasar lembaga keuangan syariah dan keuangan syari'ah memiliki dasar
akad sama seperti bagi hasil, jual beli, sewa, kerjasama, penitipan, dan
sebagainya. Prinsip dasar sebagai berikut :
Keadilan
- Keseimbangan antara hak dan kewajiban
- Tata hubungan sederajat (tidak ada pihak yang dirugikan)
- Menempatkan sesuatu pada tempatnya
Maslahah
- Orientasi pada kebutuhan masyarakat banyak
- Orientasi pemenuhan kebutuhan dasar bukan keinginan
- Investasi pada sektor halal
- Tidak merusak lingkungan
Zakat
- Social safety net
- Zakat bukan charity tetapi kewajiban
- Mendorong aset untuk diinvestasikan
- Upaya pengendalian harta masyarakat untuk investasi bukan distribusi
Bebas dari
riba
- Masa depan tidak dapat dipastikan
- Menghindari adanya pihak yang tereksploitasi
- Pengoptimalan aliran investasi
- Maysir (bebas dari spekulasi)
- Meminalisasi tindakan spekulasi
- Mendorong investasi di sektor riil
- Mendorong masyarakat berperilaku untuk orientasi jangka panjang
Menghindari Gharar
- Symmetric information
- Meminimalkan transaksi yang tidak transparan
- Mempromosikan transparansi pada setiap transaksi
Menghindari Bathil (bebas dari hal yang tidak sah)
- Uang bukan untuk diperdagangkan
- Uang bernilai apabila diinvestasikan
- Pertumbuhan uang sejalan dengan sektor riil
- Tidak mengenal konsep “time value of money” tetapi “economic value of money”.[10]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lembaga keuangan (Financial
Institution) adalah suatu perusahaan yang usahanya bergerak dibidang jasa
keuangan. Artinya kegiatan yang dilakukan lembaga ini akan selalu berkaitan
dengan bidang keuangan, apakah penghimpunan dana, menyalurkan, dan atau
jasa-jasa keuangan lainnya.
Lembaga
keuangan syari'ah merupakan transformasi dari teori-teori alquran yang
didalamya terdapat instruksi mengenai aktivitas-aktivitas dalam menjalankan
praktik-praktik ekonomi yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat.
Lembaga keuangan syari'ah yang
diungkapkan diatas, dapat dipahami bahwa untuk membangun sebuah usaha, pada
prinsipnya salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian
ekonomi syariah bukan hanya uang tetapi meliputi materi, baik berupa uang dan
atau materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Semua hal itu harus selalu
berdasar prinsip syariah.
B.
Saran
Alhamdulillah Kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
tidak luput dari kesalahan, baik dalam
sistematika penulisan maupun isi dari makalah. Maka dari itu kritik dan saran
dari pembaca sangat Kami harapkan
agar dapat kami gunakan sebagai bahan evaluasi makalah kami selanjutnya.
Daftar Pustaka
Ali,
Zainuddin., Hukum Perbankan Syari'ah,(Jakarta: Sinar Grafika. 2008).
Antonio, Muhammad Syafi’i., Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000)
Burhanuddin S,. Aspek
Hukum Lembaga Keuangan Syari'ah,(Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010).
Busisantoso,Totok., Sigit Triandaru. Bank
dan Lembaga Keuangan Lain,(Jakarta: Salemba Empat. 2011).
K. Lubis, Suhrawardi., Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta
: Sinar Grafika, 2002).
Soemitra, Andri., Bank dan Lembaga Keuangan
Syari'ah,(Jakarta: Kencana. 2009).
http://mysharing.co/prinsip-dasar-keuangan-syariah/#ixzz3avtkGeoS.
(diakses tanggal 23 Mei 2015 pukul: 11.03).
[1]
Burhanuddin S. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari'ah,(Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2010),hal. 13
[2]
Andri Soemitra. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah,(Jakarta: Kencana.
2009),hal. 27
[3]
Andri Soemitra. Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah, hal.27-28.
[4]
Totok Busisantoso,Sigit Triandaru. Bank dan Lembaga Keuangan Lain,(Jakarta:
Salemba Empat. 2011), hal.2
[5]
Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syari'ah,(Jakarta: Sinar Grafika. 2008),
hal. 58
[7]
2 Muhammad Syafi’i Antonio,
Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 20
[8]
Muhammad Syafi’i Antonio,
Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek.hlm.
21
[9]
Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syari'ah.hal. 59-60.
[10]
http://mysharing.co/prinsip-dasar-keuangan-syariah/#ixzz3avtkGeoS.
(diakses tanggal 23 Mei 2015 pukul: 11.03).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar